SALADIN
Saya coba mendoakan arwah Saladin di depan makamnya, di
sebuah ruangan di belakang Masjid Umayyah yang berumur lebih dari 12 abad itu
di Damaskus. Tapi konsentrasi diri saya rasanya tak betul. Barangkali sesuatu
telah mengganggu hati saya.
Makam itu --makam orang yang termasyhur dalam sejarah
itu, orang yang besar jasanya itu, orang yang dipuji bahkan oleh musuh-musuhnya
itu-- terasa kusam. Seperti kesedihan yang dicoba disembunyikan, ruangan itu
kelabu. Sebuah kubur dengan nisan yang tinggi tapi hanya tampil serasa kayu
lapuk, logam yang aus. Sebuah ruang sekitar 4 X 6 meter, yang seperti kamar
yang kehilangan peminat. Warna-warnanya hambar. Cahaya pudar. Sawang tebal.
Debu. Orang tak akan tahu dengan segera bahwa di sinilah Sultan Saladin,
pahlawan Islam dalam Perang Salib, terkubur. Hanya sebuah gambar kertas yang
buruk --mungkin wajahnya-- tergantung di dinding.
Makam memang tidak untuk dijadikan ruang pameran. Kubur
memang hanya pertanda kesementaraan kita --juga keterbatasan seorang pahlawan.
Tapi tidakkah manusia perlu berhenti sebentar dan mengenang? "Kenanglah
segala yang baik," kata sebuah baris Chairil Anwar, "dan cintaku yang
kekal." Tidakkah masa lalu punya sesuatu yang kekal, yang bisa diwakili
dengan sebuah tanda, sebuah simbol, dengan sikap yang hormat?
Saya mencoba berdoa di depan makam Saladin di Damaskus,
untuk arwahnya, juga untuk apa yang baik dalam sejarah --tapi saya merasa ada
sesuatu yang meleset dalam ruang ini. Melangkah keluar, berjalan kembali ke lapangan
terbuka di halaman dalam masjid, saya dengar suara penziarah-penziarah Syiah
meraungkan tangis, di dekat peninggalan Hussein yang gugur di Kerbala
berabad-abad yang lalu. Di tembok-tembok tinggi, masih tersisa bekas-bekas
lukisan gaya Byzantium.
Masa lalu memang tidak mudah pergi meskipun kita seperti
tak ingin menengoknya. Bahkan di salah satu tembok Masjid Umayyah yang dulu
adalah Katedral Yahya Pembaptis yang dipermak jadi masjid yang indah di tahun
700-an itu, seorang sejarawan masih menemukan sisa inskripsi ini:
"Kerajaan-Mu, ya, Kristus, adalah kerajaan abadi..."
Tapi jika masa lalu tak mudah pergi, dari bagian manakah
dari Saladin yang akan datang kepada kita kini? Dari ruang makamnya yang kusam,
mitos apa yang akan kita teruskan? Kisah Saladin adalah kisah peperangan. Dari
zamannya kita dengar cerita dahsyat bagaimana agama-agama telah menunjukkan
kemampuannya untuk memberi inspirasi keberanian dan ilham pengorbanan --yang
kalau perlu dalam bentuk pembunuhan.
Tapi sebagian besar kisah Saladin --yang tersebar baik di
Barat maupun di Timur dari sejarah Perang Salib yang panjang di abad ke- 12
itu-- adalah juga cerita tentang seorang yang pemberani dalam pertempuran, yang
sebenarnya tak ingin menumpahkan darah. Saladin merebut Jerusalem kembali di musim
panas 1187. Tapi menjelang serbuan, ia beri kesempatan penguasa Kristen kota
itu untuk menyiapkan diri agar mereka bisa melawan pasukannya dengan terhormat.
Dan ketika pasukan Kristen itu akhirnya kalah juga, yang dilakukan Saladin
bukanlah menjadikan penduduk Nasrani budak-budak. Saladin malah membebaskan
sebagian besar mereka, tanpa dendam, meskipun dulu, di tahun 1099, ketika
pasukan Perang Salib dari Eropa merebut Jerusalem, 70 ribu orang muslim kota
itu dibantai dan sisa-sisa orang Yahudi digiring ke sinagog untuk dibakar.
"Anakku," konon begitulah pesan Sultan itu
kepada anaknya, az-Zahir, menjelang wafat, "...Jangan tumpahkan darah...
sebab darah yang terpercik tak akan tertidur."
Dalam hidupnya yang cuma 55 tahun, ikhtiar itulah yang
tampaknya dilakukan Saladin. Meskipun tak selamanya ia tanpa cacat, meskipun ia
tak jarang memerintahkan pembunuhan, kita toh tahu, antara lain dan film
Hollywood sekalipun, bagaimana pemimpin pasukan Islam itu bersikap baik kepada
Raja Richard Berhati Singa yang datang dari Inggris untuk mengalahkannya.
Ketika Richard sakit dalam pertempuran, Saladin mengiriminya buah pir yang
segar dingin dalam salju, dan juga seorang dokter. Lalu perdamaian pun
ditandatangani, 1 September 1192, dan pesta diadakan dengan pelbagai pertandingan,
dan orang Eropa takjub bagaimana agama Islam bisa melahirkan orang sebaik itu.
Kita sekarang juga mungkin takjub bagaimana masa lalu
bisa melahirkan orang sebaik itu. Terutama ketika orang hanya mencoba
menghidupkan kembali apa yang gagah berani dari abad ke- 12 tapi meredam apa
yang sabar dan damai dari sebuah zaman yang penuh peperangan. Tapi pentingkah
sebenarnya masa silam?
Dari makam telantar orang Kurdi yang besar itu, suatu
hari di tahun 1970-an, saya kembali ke pusat Damaskus, lewat lorong bazar yang
sibuk di depan Masjid Umayyah. Kota itu riuh, keriuhan yang mungkin tanpa
sejarah.
l9 Januari 1991(Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir 4, Grafiti, 1995, h.388-390)
Mohon Apresiasi anda
BalasHapus